Kamis, 04 Juni 2009

MENGGAPAI FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

Tugas Akhir Perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika
Oleh Desty Nilasari

Dalam pencapaiannya menuju filsafat pendidikan matematika, hal awal yang perlu diketahui dan dipelajari yaitu tentang filsafat, pendidikan, matematika, filsafat pendidikan dan filsafat matematika. Lima hal ini merupakan dasar yang dapat digunakan dalam proses menggapai filsafat pendidikan matematika.

Filsafat:
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, ”philosophia”. Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat, namun batasan yang berbeda itu tidak mendasar. Selanjutnya batasan filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan secara terminologi. Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien : cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat. Sedangkan filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Dari semua pengertian filsafat secara terminologis oleh para filsuf, dapat ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.

Pendidikan:
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis, harmonis, dan dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.

Matematika:
Sejarah menunjukkan bahwa matematika dibutuhkan manusia. Dapatkah kita membayangkan bagaimana dunia ini sekarang seandainya matematika tidak ada? Dapatkah kita mendengarkan radio, melihat televisi, naik kereta api, mobil atau pesawat terbang, berkomunikasi lewat telepon atau Handphone (HP), dan lain sebagainya? Dapatkah kita membayangkan kacaunya dunia ini seandainya orang tidak bisa berhitung secara sederhana, tidak bisa memahami ruang di mana dia tinggal, tidak bisa memahami harga suatu barang di suatu supermarket? Apa yang terjadi seandainya A mengatakan 7 + 5 = 12, sedangkan B berpendapat 7 + 5 = 75, atau kejadian-kejadian yang lain?
Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang harus dikuasai oleh siswa. Sebab sesuai dengan gambaran di atas, ternyata matematika tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Matematika selalu mengalami perkembangan yang berbanding lurus dengan kemajuan sains dan teknologi. Hal yang demikian, kebanyakan tidak disadari oleh sebagian siswa yang disebabkan minimnya informasi mengenai apa dan bagaimana sebenarnya matematika itu. Dengan demikian, maka akan berakibat buruk pada proses belajar siswa, yakni mereka hanya belajar matematika dengan mendengarkan penjelasan seorang Guru, menghafalkan rumus, lalu memperbanyak latihan soal dengan menggunakan rumus yang sudah dihafalkan, tetapi tidak pernah ada usaha untuk memahami dan mencari makna yang sebenarnya tentang tujuan pembelajaran matematika itu sendiri.

Filsafat Pendidikan:
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Filasafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka saat mulai belajar filsafat pendidikan akan dimulai dari filsafat. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beranekaragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
Dua kelompok besar filsafat pendidikan, yaitu
1. Filsafat pendidikan progresif (progresivisme), yang didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey dan romantik naturalisme dari Roousseau
2. Filsafat pendidikan Konservatif, yang didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme, dan supernaturalisme atau realisme religius.
Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.
Aliran-aliran dalam filsafat pendidikan:
Filsafat Pendidikan Progresivisme,
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal, tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Filsafat Pendidikan Pragmatisme,

Dipandang sebagai filsafat Amerika, dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, dan positivisme. Esensi ajarannya, hidup bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan priabdi dan masyarakat.
Filsafat Pendidikan Esensialisme,
Merupakan suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda.
Filsafat Pendidikan Idealisme,
Berpandangan bahwa pengetahuan itu sudah ada dalam jiwa kita. Untuk membawanya pada tingkat kesadaran perlu adanya proses introspeksi. Tujuan pendidikan aliran ini membentuk karakter manusia.
Filsafat Pendidikan Realisme,
Berpandangan bahwa hakikat realitas adalah fisik dan ruh, bersifat dualistis. Tujuan pendidikannya membentuk individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat.
Filsafat Pendidikan Perenialisme,
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.
Filsafat Pendidikan Materialisme,
Berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural.
Filsafat Pendidikan Eksistensialisme,
Memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.
Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme,
Merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.
Filsafat Pendidikan Konstruktivisme,
Berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya.
Filsafat Pendidikan Humanisme,
Berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral.
Filsafat Pendidikan Behaviorisme,
Memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.

Filsafat Matematika:
Pada era-modern kali ini, ilmu filsafat yang dijadikan sebagai ilmu pengetahuan yang dapat merubah paradigma berfikir manusia mengalami perkembangan. Hal ini dikarenakan sifat berfikir kritis yang dilakukan para filosof tak terkecuali filosof atau ilmuwan sains dan matematika yang mampu melahirkan ide-ide dan metode pembelajarannya.
Oleh karena itu filsafat umum dan filsafat matematika dalam sejarahnya adalah saling melengkapi. Filsafat matematika saling bersangkut-paut dengan fungsi dan struktur teori-teori matematika, teori-teori tersebut terbebas dari asumsi-asumsi spekulatif atau metafisik.
Pemikiran atau pandangan filsuf matematika terhadap ilmu matematika yaitu :
Pandangan Plato,
Bagi plato yang penting adalah tugas akal untuk membedakan tampilan (penampakan) dari realita (kenyataan) yang sebenar-benarnya. Menurutnya ketetapan abadi/permanent, bebas untuk dipahami adalah hanya merupakan karakteristik pernyataan-pernyataan matematika. Bagi Plato Matematika bukanlah idealisasi aspek-aspek tertentu yang bersifat empiris akan tetapi sebagai deskripsi dari bagian realitanya.
Aristoteles,
Aristotheles menekankan menemukan ‘dunia ide’ yang permanent dan merupakan realita daripada ‘abstraksi’ dari ‘apa’ yang tampak.
Leibniz,
Setiap proposisi didalam analisis terakhir berbentuk subjek-predikat. Menurutnya semua boleh mengatakan bahwa proposisi-proposisi adalah perlu benar untuk semua objek, semua kejadian yang mungkin, atau dengan menggunakan phrasenya yaitu ‘dalam semua dunia yang mungkin’.
Kant,
Kant membagi proposisi ke dalam tiga kelas yaitu Proposisi Analitis, Proposisi sintetis, dan Proposisi Aritmatika dan geometri murni.
Phytagoras,
Doktrin Phytagoras antara lain bahwa fenomena yang tampak berbeda dapat memiliki representative matematika yang identik (cahaya, magnet, listrik dapat mempunyai persamaan diferensial yang sama).

Filsafat Pendidikan Matematika:
Untuk perkembangan selanjutnya filsafat matematika pun merambah kepada filsafat pendidikan matematika akan tetapi sebelum membahas ke filsafat pendidikan matematika kita akan membahas terlebih dahulu filsafat pendidikan.
Filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafati tentang pendidikan. Dapat mengkonsentrasikan pada proses pendidikan, dapat pula pada ilmu pendidikan. Jika mengutamakan proses pendidikan, yang dibicarakan adalah cita-cita, bentuk dan metode serta hasil proses belajar itu. Jika mengutamakan ilmu pendidikan maka yang menjadi pusat perhatian adalah konsep, ide dan metode yang digunakan dalam menelaah ilmu pendidikan. Filsafat pendidikan matematika termasuk filsafat yang membicarakan proses pendidikan matematika.
Filsafat pendidikan matematika mempersoalkan permasalahan-permasalahan sebagi berikut:
- Sifat-sifat dasar matematika
- Sejarah matematika
- Psikologi belajar matematika
- Teori mengajar matematika
- Psikologis anak dalam kaitannya dengan pertumbuhan konsep matematis.
- Pengembangan kurikulum matematika sekolah
- Penerapan kurikulum matematika di sekolah.

Menggapai Filsafat Pendidikan Matematika:
Dalam pencapaiannya menuju filsafat pendidikan matematika, berdasarkan uraian tentang filsafat, pendidikan, matematika, filsafat pendidikan dan filsafat matematika, saya mengelompokkannya dalam dua hal yaitu;
A. Filsafat konstrukvimisme
Filsafat konstrukvimisme banyak mempengaruhi pendidikan matematika pada tahun delapan puluh dan sembilan puluhan. Konstrukvimisme berpandangan bahwa belajar adalah membentuk pengertian oleh si pelajar. Pada intinya gagasan kontruktivimisme tentang pengetahuan adalah sebagai berikut :
- Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
- Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan strutur yang perlu untuk pengetahuan.
- Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Strutur-konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi ini berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang atau disebut konsep itu jalan.
Adapun implikasi dari kontrukvimisme terhadap proses belajar adalah sangat baik hal ini lebih ditekankan pada siswa. Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
- Belajar berarti membentuk makna
- Konstruksi makna adalah proses yang terus menerus.
- Belajar bukan merupakan hasil perkembangan, melainkan perkembangan itu sendiri.
- Proses belajar yang sesungguhnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pikiran lebih lanjut.
- Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan sekitarnya
- Hasil belajar seseorang dipengaruhi oleh apa yang telah diketahui siswa: konsep,tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Jadi dalam hal ini siswa harus aktif. Guru bertindak sebagai mediator dan fasilitator. Hal ini dikarenakan mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisifasi dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Dari pengaruh filsafat kontruktivimisme tersebut ternyata membawa perkembangan matematika lebih baik, perkembangan ini dilihat dari produktivitasnya baik kuantitatif maupun kulaitatif dari waktu ke waktu semakin meningkat dan semakin cepat. Produktivitas matematika terhadap skala waktu, secara kuantitaif dapat digambarkan berkembang secara eksponensial pertumbuhan biologis (makin lama makin menanjak).
Sayangnya, harus diakui, masih banyak para guru, dosen dan pendidik yang alergi menerima kritik dari peserta didiknya. Sungguh, hal ini mematikan kreativitas peserta didik yang mengakibatkan stagnasi dalam bidang intelektual dan keilmuan. Padahal seorang pendidik yang ikhlas, ia ingin sekali dan merasa bangga jika muridnya menjadi lebih pandai dari dirinya, bukan malah khawatir dan takut.
B. Filsafat Progresivisme
Setiap orang, pasti menginginkan hidup bahagia. Salah satu diantaranya yakni hidup lebih baik dari sebelumnya atau bisa disebut hidup lebih maju. Hidup maju tersebut didukung atau dapat diwujudkan melalui pendidikan. Dikaitkan dengan penjelasaan ini, menurut pendapat saya filsafat pendidikan yang sesuai atau mengarah pada terwujudnya kehidupan yang maju yakni filsafat yang konservatif yang didukung oleh sebuah idealisme, rasionalisme(kenyataan). Itu dikarenakan filsafat pendidikan mengarah pada hasil pemikiran manusia mengenai realitas, pengetahuan, dan nilai seperti yang telah disebutkan diatas. Jadi, aliran filsafat yang pas dan sesuai dengan pendidikan yang mengarah pada kehidupan yang maju menurut pikiran saya yakni filsafat pendidikan progresivisme (berfokus pada siswanya). Tapi akan lebih baik lagi bila semua filsafat diatas bisa saling melengkapi.
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.

Rabu, 27 Mei 2009

Refleksi Akhir Kuliah Filsafatku III

Filsafat mengajarkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan untuk diaplikasikan dalam hidup. Secara umum, studi filsafat bertujuan untuk menjadikan manusia yang susila. Orang yang susila dipandang sebagai ahli filsafat, ahli hidup, dan orang yang bijaksana. Sementara itu, tujuan khususnya adalah menjadikan manusia yang berilmu. Dalam hal ini, ahli filsafat dipandang sebagai orang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan yang selalu mencari kenyataan kebenaran dari semua problem pokok keilmuan.
Untuk mengetahui seberapa besar filsafat mempengaruhi kehidupan manusia, kita perlu mempelajari sejarah filsafat, mulai dari Filsafat Yunani, Fisafat Barat Abad Pertengahan, hingga pemikiran Filsafat di Timur. Selain itu, perlu didukung Flsafat Modern, seperti rasionalisme, empirisme, materialisme, eksistensialisme, dan sebagainya, serta fisafat yang begitu popular akhir-akhir ini, yaitu filsafat analitis dan strukturalisme....

Rabu, 20 Mei 2009

Refleksi Akhir Kuliah Filsafatku II

Oleh Desty Nilasari

Puji syukur saya pajatkan pada Allah Swt. Yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya memperoleh banyak materi dalam perkuliahan Filsafat.
Beberapa hal yang saya peroleh setelah mengikuti perkuliahan filsafat selama ini, diantaranya adalah
1.Filsafat merupakan bidang ilmu pengetahuan tersendiri yang berbeda dengan pengetahuan yang lain. Oleh karena itu, filsafat harus dipelajari dengan cara tersendiri pula. Bila pengetahuan selain filsafat dapat dipelajari lewat penelitian atau laboratorium, maka filsafat hanya dapat dipelajari dengan akal sehat dan penalaran yang tajam. Selain itu, pengkaji filsafat juga harus memiliki sikap mental, yakni menghilangkan dari dalam dirinya sifat a priori, yaitu bahwa dirinya telah mengetahui segala sesuatu, sebab seseorang tidak mungkin dapat memelajari suatu pengetahuan yang sudah deketahuinya.
2.Berbeda dengan definisi bidang studi yang lain, seperti antropologi, sosiologi, dan lain-lainnya, yang pada umumnya terdapat kesepakatan diantara para ilmuan bersangkutan. Tetapi definisi-definisi filasafat memperlihatkan keragaman yang membingungkan, sebab definisi yang ditampilkan oleh para ahli pikir dan ilmuwan filsafat memberikan rumusannya sendiri-sendiri. Dengan alasan tersebut, saya berfikir agar kajian terhadap filsafat tidak bertolak pada definisi-definisi yang ada.
3.Dalam studi filsafat terdapat beberapa pendekatan, yang lazim dipergunakan adalah pendekatan sejarah.
Materi perkuliahan yang saya peroleh hanyalah sebagian karena begitu luasnya materi kajian filsafat itu.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Marsigit dan Bapak Ariyadi selaku dosen yang mengampu bidang studi filsafat. Terima kasih atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan selama perkuliahan...
*****

Refleksi Akhir Kuliah Filsafatku I

Oleh Desty Nilasari

Filsafat menpunyai sejarah yang sangat panjang. Filsafat lebih tua dari pada semua ilmu dan kebanyakan agama. Walaupun demikian, fisafat bagi banyak orang merupakan sesuatu yang kabur, sesuatu yang kelihatannya tidak berguna, tanpa metode, tanpa kemajuan, dan penuh perselisihan pendapat.
Selama dalam perkuliahan filsafat yang telah berjalan, ternyata tidak akan menjawab semua pertanyaan mengenai filsafat. Yang dapat, dan itu dicoba dalam penjelasan-penjelasan yang singkat yaitu memperkenalkan filsafat sebagai bagian dari usaha manusia yang lebih besar, yaitu usaha untuk mengerti dunia. Dalam perkuliahan dijelaskan tugas filsafat di samping ilmu pengetahuan juga ikhtisar dari sejarah filsafat Timur dan Barat....
*****

Selasa, 19 Mei 2009

Elegi Segiempat

Segiempat1:
Aku adalah Segiempat. Aku adalah suatu bidang yang dibatasi oleh empat buah ruas garis yang tertentu oleh empat buah titik dengan tiga buah titik tidak segaris, yang sepasang-sepasang saling bertemu pada ujung-ujungnya. Orang-orang menamaiku Segiempat sederhana.

Segiempat2:
Au adalah Segiempat. Sepasang sisiku yang berhadapan saling sejajar. Orang-orang menamaiku Trapesium (trapezoid).

Segiempat3:
Aku adalah Segiempat. Aku pun adalah Trapesium. Tetapi, sepasang sisiku yang tidak saling sejajar saling kongruen. Maka orang-orang menamaiku Trapesium Samakaki.

Segiempat4:
Aku adalah Segiempat. Aku pun adalah Trapesium. Tetapi, salah satu sudutku merupakan sudut siku-siku. Maka orang-orang menamaiku Trapesium Siki-Siku.

Segiempat5:
Aku adalah Segiempat. Kedua pasang sisiku yang berhadapan saling sejajar. Orang-orang menamaiku Jajargenjang (parallelogram).

Segiempat6:
Aku adalah Segiempat. Aku adalah jajargenjang yang sepasang sisiku yang berdekatan saling kongruen. Orang-orang menamaiku Belahketupat (Rhombus).

Segiempat7:
Aku adalah Segiempat. Diriku sebenarnya pun adalah jajargenjang. Tetapi karena salah satu sudutku siku-siku maka orang-orang menamaiku Persegipanjang (Rectangle)

Segiempat8:
Aku adalah Segiempat. Kedua pasang sisiku yang berhadapan saling sejajar. Salah satu sudutku adalah sudut siku-siku. Jadi aku adalah persegipanjang tetapi karena sepasang sisiku yang berdekatan berdekatan saling kongruen maka orang-orang menamaiku Persegi (Square).

Segiempat9:
Aku adalah Segiempat. Kedua pasang sisiku yang berdekatan saling kongruen. Sudut-sudutku yang berhadapan saling kongruen. Orang-orang menamaiku Layang-layang.

Segiempat10:
Aku adalah Segiempat. Aku adalah abstrak. Tiadalah yang konkrit dari diriku selain hanyalah modelku.

Rabu, 06 Mei 2009

SEJARAH FILSAFAT

Oleh Desty Nilasari

Setelah mempelajari filsafat hingga saat ini, banyak hal yang saya dapatkan terutama dalam hal sejarah filsafat.
Dalam sejarah filsafat kita bertemu dengan hasil penyelidikan semua cabang filsafat. Sejarah filsafat mengajarkan jawaban-jawaban yang diberikan oleh pemikir-pemikir besar, tema-tema yang dianggap paling penting dalam periode-periode tertentu, dan aliran-alian besar yang menguasai pemikiran selama suatu zaman atau di suatu bagian dunia tertentu. Cara berfikir tentang manusia, tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan kematian, tentang kebebasan dan cinta, tentang yang baik dan yang jahat, tentang materi dan jiwa, alam dan sejarah. Tetapi ada banyak pertanyaan dan jawaban yang selalu kembali di segala zaman dan di semua sudut dunia. Oleh karena itu, sejarah filsafat sesuatu yang sangat penting. Dalam sejarah filsafat seakan-akan diadakan suatu dialog antara orang dari semua zaman dan kebudayaan tentang pertanyaan-pertanyaan yang paling penting.

Dalam sejarah filsafat biasanya dibedakan tiga tradisi besar: filsafat India, filsafat Cina, dan filsafat Barat. Antara ketiga tradisi ini ada banyak paralel, terutama antara filsafat India dan filsafat Barat. Satu hal yang menonjol ialah bahwa baik di India dan Cina maupun dalam dunia Barat, hidup intelektual menjadi dewasa dengan melepaskan diri dari corak berpikir mistis dalam periode antara 800 dan 200 sebelum Masehi. Dalam periode ini hidup Konfusius dan Lao Tse di Cina, Gautama Buddha dan penyusun-penyusun Upanisad di India, Parmenides, Herakleitos, Sokrates, Plato, dan Aristoteles di Yunani atau koloni-koloni Yunani, Zoroaster di Persia, nabi-nabi besar di Israel.

Dengan “filsafat Cina” dan “filsafat India” dimaksudkan dua tradisi dari ribuan tahun yang terkait pada keadaan geografis, politis, dan kultural dari Cina dan subkontinen India. Dibandingkan dengan kedua tradisi ini, tradisi ketiga, filsafat Barat, sesuatu yang tidak begitu jelas karena tradisi filsafat barat telah mulai di Asia Kecil dan memuat pemikir-pemikir dan aliran-aliran dari Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika. Termasuk filsafat Barat adalah fisafat Yunani, filsafat Hellenistis, filsafat Kristiani, filsafat Islam, filsafat zaman renaisans, zaman modern, dan masa kini.

Sejarah filsafat dunia merupakan suatu sumber pengetahuan, pengalaman, hikmat, dan iman yang luar biasa. Sejarah filsafat merupakan suatu cermin bagi manusia. Pertanyaan-pertanyaan dan ide-ide manusia sekarang ditemukan kembali disini dalam suatu perspektif yang sangat luas, yang mengatsi batas-batas zaman dan kebudayaan...

Sabtu, 02 Mei 2009

Elegi Bilangan π (Pi)

Oleh Desty Nilasari

Q : Disebut lambang apakah ini, π ?
A : Lambang bilangan Pi
Q : Apakah Pi itu bilangan?
A : Bisa ya bisa bukan
Q : Kenapa Pi bukan bilangan?
A : Pi itu cuma kumpulan huruf p, i
Q : Bilamana Pi itu bilangan?
A : Bila Pi menunjuk angka 22/7
Q : Tetapi apakah Pi selalu menunjuk angka 22/7?
A : Belum tentu.
Q : Mengapa?
A : Di bidang matematika Pi juga menunjuk angka 3,14
Q : Apakah Pi selalu menunjuk angka?
A : Belum tentu.
Q : Mengapa?
A : Temanku Devi juga biasa dipanggil dengan nama Pi.
Q : Ada berapa Pi itu?
A : Bisa satu bisa banyak
Q : Bilamana Pi itu satu?
A : Pi itu satu jika bersatu.
Q : Bilamana Pi itu banyak?
A : Jika dia berpisah.
Q : Apakah 22/7 sama dengan 3,14?
A : Belum tentu
Q : Mengapa 22/7 belum tentu 3,14?
A : Mungkin 22/7 sama dengan 3,14
Q : Mengapa masih mungkin?
A : Harus dibuktikan dulu bahwa 22/7 memang sama dengan 3,14
Q : Aku tunjukkan dengan menghitung menggunakan kalkulator, maka aku dapat menyebutkan 22 dibagi 7 sama dengan 3,142857143
A : Lha itu jelas bahwa 22/7 tidak sama dengan 3,14 melainkan 3,142857143
Q : Berati 22/7 sama dengan 3,142857143?
A : Belum tentu
Q : Mengapa?
A : Bagaimana jika 3,142857143 itu dibulatkan hingga dua angka desimal, bukankah hasilnya sama dengan 3,14?
Q : Ya, berarti 22/7 itu sama dengan pembulatan dua angka desimal 3,142857143?
A : Belum tentu
Q : Mengapa?
A : Harus dibuktikan dulu bahwa 3,14 sama dengan 3,142857143
Q : Bukankah tadi sudah ditunjukkan bahwa 22 dibagi 7 sama dengan 3,142857143 dan dengan pembulatan hingga dua angka desimal sama dengan 3,14
A : Kapan?
Q : Tadi
A : Belum tentu nanti juga demikian
Q : Bagaimana kamu membuktikannya?
A : Bagiku 3,142857143 itu berbeda dengan 3,14
Q : Baik, apakah 3,142857143 sama dengan 3,14?
A : Ternyata tidak
Q : Mengapa 3,142857143 tidak sama dengan 3,14?
A : Jelas 3,142857143 tidak sama dengan 3,14
Q : Jika 3,14 hasil dari pembulatan hingga angka dua desimal, apakah 3,14 sama dengan 3,14?
A : Belum tentu
Q : Mengapa?
A : Aku menemukan dua macam 3,14, 3,14 pertama dan 3,14 kedua
Q : Apa bedanya 3,14 pertama dan 3,14 kedua?
A : 3,14 pertama aku ucapkan lebih dulu, sedangkan 3,14 kedua aku ucapkan kemudian.
Q : Apa bedanya 3,14 diucapkan dahulu dan 3,14 diucapkan kemudian?
A : Jelas berbeda, jika aku bisa mengucapkan 3,14 lebih dulu, dan aku bisa mengucapkan 3,14 kemudian, itu pertanda bahwa aku telah menemukan dua macam 3,14
Q : Kalau begitu dirimu itu siapa?
A : Aku tidak tahu.
Q : Namamu siapa?
A : Aku ragu-ragu.
Q : Biasanya orang menyebut dirimu siapa?
A : Pernah aku dipanggil sebagai Pi.
Q : Apakah Pi itu dirimu?
A : Belum tentu.
Q : Kenapa belum tentu?
A : Karena mungkin ada orang lain yang mempunyai nama Pi.
Q : Apakah dirimu itu Pi?
A : Aku tidak tahu.
Q : Kenapa engkau tidak tahu?
A : Aku tidak dapat menyebutkan dirimu.
Q : Lha, aku ini bicara dengan siapa?
A : Mungkin dengan Pi
Q : Lalu siapa namamu? Bukankah namamu itu Pi?
A : Aku merasa namaku disamakan.
Q : Kenapa engkau menganggap namamu disamakan?
A : Aku yang dulu, sekarang dan yang akan datang disamaratakan sebagai Pi?
Q : Apakah engkau akan mengganti namamu?
A : Tidak. Aku hanya akan menambah saja namaku dengan keterangan tambahan, sehingga namaku menjadi bilangan Pi.
Q : Apakah engkau sudah puas dengan namamu itu?
A : Belum. Namaku itu juga belum spesifik. Maka jika boleh aku akan lengkapi namaku sehingga namaku menjadi bilangan Pi 22/7.
Q : Apakah engkau sudah puas dengan namamu itu?
A : Sudah
Q : Kenapa?
A : Karena ternyata namaku tidak pernah bisa diubah
Q : Mengapa?
A : Karena di bidang matematika bilangan Pi 22/7 telah ditemukan oleh penemunya yaitu Archimedes.
Q: Kalau begitu apakah fungsi nama itu?
A: Tiadalah sebenarnya manusia itu sama dengan namanya.
Q: Apa maksudmu?
A: Manusia itu hanya berusaha menggapai namanya masing-masing. Sebenar-benar dan setinggi-tinggi nama adalah nama absolut. Itulah nama Tuhan Allah SWT.
*****

Rabu, 15 April 2009

ILMU DAN MATEMATIKA

ILMU
Ilmu berasal dari bahasa Arab “alima”, bahasa Inggris “science”, bahasa latin “scio” dan di Indonesiakan menjadi sains.
John Warfield; “Ilmu dipandang sebagai suatu proses. Pandangan proses ini paling bertalian degan suatu perhatian terhadap penyelidikan karena penyelidikan adalah suatu bagian besar dari ilmu sebagai suatu proses.
Charles Singer “Ilmu adalah proses membuat pengetahuan (science is the process which makes knowledge)
Sehingga dengan demikian, Ilmu adalah kumpulan pengetahuan secara holistic yang tersusun secara sistematis, teruji secara rasional dan terbukti secara empiris. Ukuran kebenaran ilmu adalah rasionalisme dan empirisme sehingga kebenaran ilmu bersifat empiris dan rasional.

MATEMATIKA
“Matematika” berasal dari kata mathema dalam bahasa Yunani yang artinya sebagai “Sains, ilmu pengetahuan atau belajar juga dari kata mathematikos yang diartikan sebagai “suka belajar”.
Pengertian matematika sangat sulit didefinisikan secara akurat. Pada umumnya orang awam hanya akrab dengan satu cabang matematika elementer yang disebut aritmatika atau ilmu hitung yang secara informal dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang berbagai bilangan melalui beberapa operasi dasar: tambah, kurang, kali dan bagi yang senantiasa berurusan dengan rumus dan angka-angka.

ALIRAN DALAM FILSAFAT MATEMATIKA
Beberapa aliran dalam filsafat matematika:
1. Immanuel Kant (1724 – 1804)
Berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik apriori dimana eksistensi matematika tergantung dari pancaindera serta pendapat lain dari aliran yang disebut logistik yang berpendapat bahwa matematika merupakan cara berpikir logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris.
2. Jan Brouwer (1881 – 1966)
Berpendapat bahwa matematika ini bersifat intusionis
3. David Hilbert (1862 – 1943)
Mempelajari aliran ketiga dan terkenal dengan sebutan kaum formalis.

Beberapa pengertian matematika sebagai berikut:
1. Matematika sebagai bahasa
Matematika adalah bahasa dengan berbagai simbol dan ekspresi untuk mengkomunikasikannya. Lambang-lambang matematika harus bersifat “artifisial” yang baru mempuyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya sehngga menjadi ekonomis dengan kata-kata. Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Hal ini menyebabkan penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak berifat eksak sehingga daya prediktif dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat. Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran. Sifat kuantitatif dari matematika ini dapat meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tehap kualitatif ke kuantitatif. Matematika adalah bahasa yang dapat menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional.
2. Matematika sebagai ratu dan sekaligus pelayan.
Sebagai ratu, perkembangan matematika tidak tergantung pada ilmu-ilmu lain. Matematika sebagai pelayan, matematika adalah ilu yang mendasari dan melayani berbagai ilmu pengetahuan.
3. Matematika sebagai sarana berpikir deduktif.
Berpkir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Matematika adalah engetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Matematika adalah imu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan yang diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman konsep dapat secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata ata intuisi.
4. Matematika sebagai aspek estetik
Matematika merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan seharihari. Hampir semua masalah kehidupan yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti tidak mau berpaling pada matematika. Dari mengukur panjang papan sampai mengukur kedalaman laut. Aspek estetik juga diperkembangkan dimana matematika merupakan kegiatan intelektual dalam kegiatan berpikir yang penuh kretif.
5. Matematika sebagai aktivitas manusia

KARAKTERISTIK MATEMATIKA
1. Memiliki objek abstrak
Objek dasar matematika adalah abstrak dan disebut obyek mental. Obyek pikiran, yaitu:
a. Fakta
Berupa konvensi-konvensi yang diungkap dengan simbol tertentu
Contoh:
• “ 2 ” dipahami sebagai bilangan “dua”
• “ 5 – 2 “ dipahami sebagai “ lima kurang dua “
• “//” bermakna “sejajar” dll
b. Konsep
• OPERASI adalah pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar, dan pengerjaan matematika yang lain.
“penjumlahan”, “perkalian”, “gabungan”, “irisan”.
• OPERASI adalah suatu relasi khusus, karena operasi adalah aturan untk memperoleh elemen tunggal dari satu atau lebih elemen yang diketahui.
• Operasi unair, operasi biner, dll
c. Prinsip
• PRINSIP adalah obyek matematika yang kompeks. Prinsip dapat terdiri dari beberapa fakta, beberapa knsep yang dikaitkan oleh suatu relasi/operasi.
• PRINSIP adalah hubungan antara berbagai obyek dasar mateatika. Prinsip dapat berupa aksioma, teorema, sifat, dsb.
• SKILL adalah prosedur atau kumpulan aturan-aturan yang digunanakan untuk menyelesaika soal matematka.
2. Bertumpu pada kesepakatan
Kesepakatan yang amat mendasar adalah AKSIOMA dan KONSEP PRIMITIF. Aksioma disebut juga postulat adalah pernyataan pangkal (yang tidak perlu dibuktikan).
Konsep primitif disebut juga undefined terms adalah pengertian pangkal yang tidak perlu didefinisikan.
3. Berpola pikir deduktif
Kebenaran suatu konsep ata pernyataan yang diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Proses pembuktian secara deduktif akan melibatkan teori atau rumus matematika lainnya yang sebelumnya sudah dibuktikan kebenarannya secara deduktif juga.
4. Memiliki simbol yang kosong dari arti
Contoh:
• Model persamaan “x + y = z” belum tentu bermakna bilangan, makna huruf atau tanda itu tergantung dari permasalahan yang mengakibatkan terbentuknya model itu.
5. Memperhatikan semesta pembicaraan
Bila semesta pembicaranya adalah bilangan maka simbol-simol diartikan bilangan.
Contoh:
• Jika kita bicara di ruang lingkup vektor, a + b = c, maka huruf-huruf yang digunakan bukan berarti bilangan tetapi harus diartikan sebagai vektor.
6. Konsisten dalam sistemnya
Dalam mateatika terdapat banyak sistem. Satu dengan yang lain bisa saling berkaitan, tetapi juga bisa saling lepas.
Sistem-sistem aljabar: sistem aksioma dari group, sistem aksioma dari ring, sistem aksioma dari field, dsb.
Sistem-sistem geometri: sistem gemetri netral, sistem geometri Euclides, sistem geometri non-Euclides.
Didalam masing-masing sistem dan struktur itu terdapat KONSISTENSI

FAKTA PENTING:
Matematika bukan numerologi. Walau numerologi memakai aritmatika modular untuk mengurangi nama dan data pada bilangan digit tunggal, numerologi secara berubah memberikan emosi atau ciri pada bilangan tanpa mengacaukan untuk membuktikan penetapan dalam gaya logika. Matematika ialah mengenai gagasan pembuktian atau penyangkalan dalam gaya logika, namun numerologi tidak. Interaksi antara secara berubah emosi penentuan bilangan secara intuitif diperkirakan daripada yang telah diperhitungkan secara seksama.
Matematika bukan akuntansi. Meskipn perhitungan aritmatika sangat krusial dalam pekrjaan akuntansi, utamanya keduanya menganai pembuktian yang manna perhitungan benar melalui sisttem pemeriksaan ulang. Pembuktian atau penyangkalan hipotesisi amat penting bagi matematikawan, namun tak sebanyak akuntan. Kelanjutan dalam matematika abstrak menyimpang pada akuntansi jika penemuan tak dapat diterapkan pada pembuktian efisiensi tata buku konkret.
Matematika bukan ilmu, karena kebenaran dalam matematika tidak memerlukan pengamatan empiris.
Matematika bukan fisika, karena fisiska adala sains.

MANFAAT MEMPELAJARI MATEMATIKA
Pada dasarnya, matematika adalah pemecahan masalah (problem solving). Karena itu sebaiknya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar kita. Tentu dengan memperhatikan usia dan pengalaman yang mungkin dimiliki siswa. Dengan cara ini dapat melatih siswa berpikir dan berargumentasi. Tidak anya mengasah fungsi otak kiri, yaitu berpikir logis, analitis, kritis, detil, runtut, berurutan dan sistematis, tetapi juga mengasah otak kanan, seperti berpikir alternatif,eksploratif dan kreatif, serta kemampuan desain dan optimasi. Melalui matematika, siswa dapat pula dibiasakan bekerja efisien, selalu berusaha mencai jalan yang lebih ederhana dan lebig singkat (tanpa mengurangi keefektifannya, jga cermat dan tidak ceroboh, serta ketat berargumentasi).

Daftar Pustaka
Depdiknas, 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu”
http://id.wikipedia.org/wiki/matematika”
Poedjawijatna, Prof. Ir, 2004. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta
S, Suriasumantri, Jujun, 1996. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
S, Suriasumantri, Jujun, 1996. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Suwarkono, 2006. Hakekat dan Fungsi Matematika. Jakarta: LPMP
Wibisono, 2001, library. Usu. ac. id

Jumat, 10 April 2009

TUJUAN PENDIDIKAN PADA TINGKAT FILSAFAT DAN ILMU

A. FILSAFAT
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta- fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh ilmu pendidikan.

Beberapa aliran filsafat yang berpengaruh dalam pengembangan pendidikan, misalnya, idealisme, realisme, pragmatisme, humanisme, behaviorisme, dan konstruktivisme .
a. Idealisme
Menurut L Bagus, Idealisme dari bahasa Inggris yaitu Idealism dan kadang juga dipakai istilahnya mentalisme atau imaterialisme. Istilah ini pertama kali digunakan secara filosofis oleh Leibniz pada mula awal abad ke- 18. Leibniz memakai dan menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, secara bertolak belakang dengan materialisme Epikuros. Idealisme ini merupakan kunci masuk ke hakikat realitas .
Inti pandangan aliran Idealisme adalah bahwa pengetahuan itu sudah ada dalam jiwa kita. Untuk membawanya pada tingkat kesadaran perlu adanya proses introspeksi. Tujuan pendidikan aliran ini membentuk karakter manusia.
b. Realisme
Realisme cenderung percaya bahwa apapun yang kita percayai sekarang ini hanya perkiraan dan bahwa setiap pengamatan baru membawa kita lebih dekat untuk memahami kenyataan
Aliran ini berpandangan bahwa hakikat realitas adalah fisik dan ruh, bersifat dualistis. Tujuan pendidikannya membentuk individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat.
c. Pragmatisme
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952) .
Paham ini juga dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, dan positivisme. Esensi ajarannya, hidup bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan priabdi dan masyarakat.
d. Humanisme
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu . Paham ini berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral.
e. Behaviorisme
Behaviorisme muncul sebagai kritik lebih lanjut dari strukturalisme Wundt. Meskipun didasari pandangan dan studi ilmiah dari Rusia, aliran ini berkembang di AS, merupakan lanjutan dari fungsionalisme. Behaviorisme secara keras menolak unsur-unsur kesadaran yang tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi, dan membatasi diri pada studi tentang perilaku yang nyata. Dengan demikian, Behaviorisme tidak setuju dengan penguraian jiwa ke dalam elemen seperti yang dipercayai oleh strukturalism. Berarti juga behaviorisme sudah melangkah lebih jauh dari fungsionalisme yang masih mengakui adanya jiwa dan masih memfokuskan diri pada proses-proses mental.
Meskipun pandangan Behaviorisme sekilas tampak radikal dan mengubah pemahaman tentang psikologi secara drastis, Brennan (1991) memandang munculnya Behaviorisme lebih sebagai perubahan evolusioner daripada revolusioner. Dasar-dasar pemikiran Behaviorisme sudah ditemui berabad-abad sebelumnya .
Aliran ini memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
f. Konstruktivisme,
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut . Artinya, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya.

Disamping aliran- aliran filsafat tersebut di atas, Burhanudin Salam menyebut pula empat aliran besar lainnya dalam filsafat yang mempengaruhi konsep- konsep pendidikan, yakni progresivisme, perenialisme, esensialisme dan eksistensialisme .
a. Progresivisme
Paha mini berdasar pada falsafah naturalism romantik dari Ressou dan pragmatisme John Dewey. Pandangan Ressou tentang hakikat manusia dan ajaran minat dan kebebasan dalam teori pengetahuan menjadi dasar dari aliran ini .
Naturalisme berpendapat bahwa manusia dilahirkan dalam kebaikan alam ke tengah masyarakat yang tidak baik. Walaupun masyarakat tidak harus dihilangkan, dengan alas an kontrak social, tetapi sedapat mungkin keadaan alamiah itu harus dipelihara di dalam persekutuan social yang terdapat kebebasan dan persamaan. Kemudian pragmatism menambahkan bahwa hidup akan senantiasa berubah, berbaharu. Dalam proses pembaharuan itu lah letak pentingnya pendidikan , yang memiliki tujuan tertentu. Dalam merumuskan tujuan progresivisme mengemukakan tiga criteria, yakni: 1). Tujuan pendidikan harus bersumber kepada situasi kehidupan yang berlangsung, 2). Tujuan pendidikan harus fleksibel, dan 3). Tujuan pendidikan harus mencerminkan aktivitas bebas. Perlu dicatat pula bahwa dalam paham ini tujuan bersifat temporal, yang berarti jika suatu tujuan sudah tercapai maka hasilnya dijadikan alat untuk mencapai tujuan berikutnya.
Menurut aliran ini, tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kehidupan yag baik bagi individu dan masyarakat. Kehidupan terbaik bagi individu adalah kehidupan yang intelegen, bebas dan memiliki control terhadap pengalamannya. Sedangkan yang terbaik bagi masyarakat adalah kehidupan demokratis, dan tidak ada stratifikasi social, kesamaan kesempatan merupakan jaminan bagi setiap orang untuk ambil bagian dalam setiap kegiatan sosial .
b. Perenialisme
Perenialisme memandang bahwa dunia penuh kekacauan, ketidakpastian dan tidak beres. Maka dari itu diperlukan sesuatu yang bersifat mutlak. Untuk memperoleh hal tersebut Perenialis mengambil kembali nilai- nilai dan prinsip- prinsip umum pada jaman kuno yang diyakini menjadi landasan berkembangnya peradaban manusia dari masa- ke masa .
Dalam pendidikan kaum perenialis berprinsip bahwa pada hakikatnya manusia itu sama, yakni manusia adalah hewan yang rasional. Rasionalitas yang menjadi unifikasi manusia kemudian menjadi identitas utama yang menempatkan manusia pada posisi tertinggi. Maka dari itu pendidikan haruslah bertujuan untuk memperbaiki manusia sebagai manusia .
c. Esensialisme
Esensialisme nampaknya bukan sebuah madhab filsafat tertentu, melainkan mereka yang bersepakat tentang prinsip- prinsip dasar yang berhubungan dengan pendidikan, yang antara lain:
1. Belajar melibatkan kerja keras, disiplin dan terkadang menimbulkan keengganan.
2. Inisiatif harus ditekankan kepada guru.
3. Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi dari subjek materi yang telah ditentukan.
4. Sekolah harus mempertahankan metode- metode tradisional yang berkaitan dengan disiplin mental.
5. Tujuan akhir pendidikan adalah meningkatkan kesejahteraan umum .
d. Eksistensialisme
Paham ini memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Cara ini berbeda dengan cara makhluk lainnya. Manusia berada bersama dengan manusia dan makhluk lainnya itu akan berarti karena manusia
Dalam kontek pendidikan eksistensisalisme mempolanya dengan dialog dimana individu dapat menemukan pemahaman dirinya dan kesadaran akan dunianya. Tujuan pendidikan dari aliran ini adalah menciptakan manusia yang memiliki tujuan, dan tujuan itu bersifat situasional dan dapat diperoleh dalam situasi tersebut .
Dari uraian tersebut di atas, kita dapat melihat aneka macam tujuan pendidikan berdasarkan pada lingkungan falsafah yang memayunginya. Hal ini kelak akan mempengaruhi konsep pendidikan di tingkat yang lebih operasional, yakni wilayah ilmu.

B. ILMU
Pemahaman terhadap konsep pendidikan setidaknya berorientasi pada dua aktifitas utama yaitu pendidikan sebagai tindakan manusia sebagai usaha membimbing manusia yang lain (educational practice), dengan pendidikan sebagai ilmu pendidikan (educational thought). Pendidikan sebagai suatu tindakan sudah berlangsung lama sebelum orang berfikir tentang bagaimana mendidik. Bahkan dapat dikatakan pendidikan dalam artian ini sudah ada sejak leberadaan manusia di dunia ini, sedangkan pendidikan sebagai ilmu baru lahir kira-kira pada abad 19.
Dalam pengembangannya ilmu pendidikan memiliki dua tujuan yang ingin dicapai yaitu untuk pengembangan suatu ilmu, yang berorientasi pada kebenaran suatu ilmu itu sendiri. Dengan cara ini akan menghasilkan ilmu teoritis murni yang tidak menghiraukan kegunaannya dalam praktik. Di samping tujuan tersebut ilmu pendidikan mengembangkan ilmu yang selanjutnya dapat digunakan dalam praktik pendidikan sehari-hari. Hal yang demikian ini sering disebut dengan ilmu bersifat praktis. Artinya teori yang ditemukan harus berorientasi pada praktik, atau dapat dipraktikan.
Sebagai konsekuensinya pada level ini, corak pendidikan menjadi lebih komplek, beragam dan bervariasi. Dengan alasan tersebut dalam makalah ini, saya hanya akan mengurai tujuan pendidikan dalam presfektif Ilmu Pendidikan Islam.
Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit dapat merambah ke ranah kehidupan apapun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan sebagai paradigma ilmu pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan. Pertama, ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan norma dalam ilmu pendidikan. Kedua, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini cenderung mengambil teori-teori dan falsafah pendidikan Barat. Falsafah pendidikan Barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan, sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan. Ketiga, dengan menjadikan Islam sebagai paradigma, maka keberadan ilmu pendidikan memilih ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Pembahasan konsep dan teori tentang pendidikan sampai kapan pun selalu saja relevan dan memiliki ruang yang cukup signifikan untuk ditinjau ulang. Paling tidak terdapat tiga alasan mengapa hal itu terjadi: Pertama, pendidikan melibatkan sosok manusia yang senantiasa dinamik, baik sebagai pendidik, peserta didik maupun penanggung jawab pendidikan; Kedua, perlunya akan ivonasi pendidikan akibat perkembangan sanis dan teknologi; Ketiga, tuntutan globalisasi, yang meleburkan sekat-sekat agama, ras, budaya bahkan falsafah suatu bangsa. Ketiga alasan itu tentunya harus diikuti dan dijawab oleh dunia pendidikan, demi kelangsungan hidup manusia dalam situasi yang serba dinamik, inovatif dan semakin mengglobal.
Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek tujuan. Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling utama, bahkan satu satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada hakekatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia .
Maka dari itu berdasarkan definisinya, Rupert C. Lodge dalam philosophy of education menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Sehingga dengan kata lain, kehidupan adalah pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu. Sedangkan Joe Pack merumuskan pendidikan sebagai “the art or process of imparting or acquiring knomledge and habit through instructional as study”. Dalam definisi ini tekanan kegiatan pendidikan diletakkan pada pengajaran (instruction), sedangkan segi kepribadian yang dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan. Theodore Meyer Greene mengajukan definisi pendidikan yang sangat umum. Menurutnya pendidikan adalah usaha manusia untuk menyiapkan dirinya untuk suatu kehidupan yang bermakna. Alfred North Whitehead menyusun definisi pendidikan yang menekankan segi ketrampilan menggunakan pengetahuan.
*****
*Dikutip dari berbagai sumber

Kamis, 02 April 2009

IKHTISAR SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT

Yang dibahas disini terutama filsafat Barat, karena misalnya filsafat India dan filsafat Cina lebih bersifat mengajar bagaimana manusia mencapai "keselamatan" ("moksa"), atau bagaimana manusia harus bertindak supaya diperoleh keseimbangan antara dunia dan akhirat. Tak dapat dipungkiri didalamnya juga ada unsur akal, tetapi bukan produk dari refleksi yang sifatnya kritis rasional.
Ada empat periode besar dalam filsafat Barat:
(A). Zaman Yunani (600 sM - 400 M)
(B). Zaman Patristik dan Skolastik (300 M - 1500 M)
(C). Zaman Modern (1500 M - 1800 M)
(D). Zaman sekarang (setelah 1800 M).
Patut diketahui bahwa tiap zaman memiliki ciri dan nuansa refleksi yang berbeda. Dalam zaman Yunani diletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat. Zaman Patristik dan Skolastik ditandai oleh usaha yang gigih untuk mencari keselarasan antara iman dan akal, karena iman di hati, dan akal ada di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia absurdum = "aku percaya justru karena tidak masuk akal" Tertulianus, 160-223 M. Dalam Zaman Modern direfleksikan berbagai hal tentang rasio, manusia dan dunia. Jejak pergumulan itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat dewasa ini.

A. Zaman Yunani

1. Filsafat pra-sokrates
Ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu ("arche" = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei"=selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang benar.

2. Puncak zaman Yunani
Dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
2.1 Sokrates
Menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.
Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
2.2 Plato
Menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.
Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming").
2.3 Aristoteles
Menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir.
Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah".
Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap". Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi".
Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz". Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas=Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati agaknya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa abad pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun landasan biblisnya sama sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)
Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.

3. Zaman Yunani pasca-aristoteles
Ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: "kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita". Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) disebut oleh Plotinos = "to hen", yang esa, "the one". Yang esa adalah awal, yang pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang esa tak berkurang atau terpengaruh sama sekali.

B. Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)

Pemikiran filsafati para Bapa Gereja Katolik mengandung unsur neo-platonisme. Para Bapa Gereja berusaha keras untuk menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan cara itu membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumens") dari Allah. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang istimewa = "imago Dei" (citra Allah), dalam arti itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan cara lebih jelas dari pada segala ciptaan lainnya.
"Tuhan, engkau lebih tinggi daripada yang paling tinggi dalam diriku, dan lebih dalam daripada yang paling dalam dalam batinku". Ini ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusan. Dalam zaman ini pokok-pokok iman Kristiani dinyatakan dalam syahadat iman rasuli (teks "Aku Percaya" yang panjang). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas.
Agustinus menerima penafsiran metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari, dan pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu baik adanya. "Allah tidak ingin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak relevan bagi keselamatan mereka". Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan dunia Penciptaan adalah tindakan tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu menjadi ada, dan tindakan kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia. Istilah ex nihilo tidak berarti bahwa tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dibuat dari perunggu, namun hanya berarti "tidak terjadi dari sesuatu yang sudah ada". Hakikat alam ciptaan ialah menerima seluruh Adanya dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.
Disini tidak disinggung persoalan, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi pada suatu ketika atau sudah ada sejak zaman kelanggengan. Para ahli filsafat pada umumnya sependapat bahwa a priori kita tidak dapat memastikan mana yang terjadi. Menciptakan, sebagai tindakan aktif, dipandang dari sudut Tuhan, merupakan cetusan kehendakNya yang bersifat langgeng, karena segala sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu dapat terjadi dalam arus waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan. Jadi kelirulah jika dibayangkan bahwa Tuhan suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia terus menerus tergantung pada Tuhan (creatio dan sekaligus conservatio).
Ketika ditanya mengenai apa yang dilakukan Allah sebelum menciptakan dunia, Agustinus menjawab tidak ada artinya bertanya mengenai itu, karena tidak ada waktu sebelum penciptaan tersebut.

C. Zaman Skolastik

Saya membagi zaman skolastik dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M, dan (2) zaman skolastik barat, abad 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa (termasuk jazirah Spanyol).
Secara sederhana, dalam zaman Patristik, "filsafat teologi", dengan tanda dapat dibaca sebagai "identik dengan", "sama sebangun dengan", "praktis tidak berbeda dengan". Sementara dalam periode skolastik timur, terdapat berbagai interpretasi atas simbul dalam rumusan "filsafat teologi", dalam periode skolastik barat tidak ada keraguan tentang makna simbul dalam rumusan "filsafat teologi".
1. Periode skolastik timur
Abad ke-5 s/d abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran filsafati praktis tidak ada. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak hadirnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada perhatian besar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada awal abad 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.
2. Perioda skolastik Barat
Awal abad 13 ditandai dengan 3 hal penting:
1) berdirinya universitas-universitas,
2) munculnya ordo-ordo kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan), dan
3) diketemukannya filsafat Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari dan dikritik dan diteliti dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225 - 1274 M).
Tema filsafat perioda ini adalah hubungan akal budi dan iman, adanya dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik.
Otonomi filsafat yang bertumpu pada akal, yang merupakan salah satu kodrat manusia, dipertahankan. Menurut Thomas Aquinas, akal memampukan manusia mengenali kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam arti ketat (misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Karena itu teologi memerlukan iman, karena hanya dapat dijelaskan dan diterima dalam iman. Dengan iman yang merupakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa Allah, manusia mampu mencapai pengetahuan yang mengatasi akal. Meski misteri ini mengatasi akal, ia tidak bertentangan dengan akal. Meski akal tidak dapat menemukan (menguak) misteri, akal dapat meratakan jalan menuju misteri ("prae-ambulum fidei").
Dengan ini Thomas Aquinas menegaskan adanya dua pengetahuan yang tidak perlu bertentangan, atau dipertentangkan, tetapi berdiri sendiri berdampingan: pengetahuan alamiah (yang berpangkal pada akal budi) dan pengetahuan iman (yang bersumber pada kitab suci dan tradisi keagamaan). Adalah Wihelm Dilthey (1839-1911) yang akhirnya membedakan dengan tegas "Geisteswissenschaften" = "human sciences" dari "Naturwisensshaften" = "natural sciences", sementara Max Weber membedakan "erklaeren" sebagai ciri-ciri ilmu alam dari "verstehen" yang merupakan ciri khas ilmu-ilmu kemanusiaan.

D. Zaman Modern (1500 - 1800)

Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu "saya ragu-ragu". Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa "aku ragu-ragu". Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah "cogito ergo sum", aku berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan "jelas, dan terpilah-pilah", "clearly and distinctly", "clara et distincta". Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu
1) realitas pikiran (res cogitan),
2) realitas perluasan (res extensa, "extention") atau materi, dan
3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu).
Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan).
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, "aku" tidak lain hanyalah "a bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)".
Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari "probable" (berpeluang). Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang "hukum alam" atau "sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Dengan kritisisme Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia "itu sendiri" ("das Ding an sich"), namun hanya dunia itu seperti tampak "bagiku", atau "bagi semua orang". Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Filsafat zaman modern berfokus pada manusia, bukan kosmos (seperti pada zaman kuno), atau Tuhan (pada abad pertengahan). Dalam zaman modern ada periode yang disebut Renaissance ("kelahiran kembali"). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dicermati dan dihidupkan kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari sana. Filsuf penting adalah N Macchiavelli (1469-1527), Thoman Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis Bacon (1561-1626).
Periode kedua adalah zaman Barok, yang menekankan akal budi. Sistem filsafatnya juga menggunakan menggunakan matematika. Para filsuf periode ini adalah Rene Descrates, Barukh de Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1710). Periode ketiga ditandai dengan fajar budi ("enlightenment" atau "Aufklarung"). Para filsuf katagori ini adalah John Locke (1632-1704), G Berkeley (1684-1753), David Hume (1711-1776). Dalam katagori ini juga dimasukkan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dan Immanuel Kant.

E. Masa kini (1800-sekarang).

Filsafat masa kini merupakan aneka bentuk reaksi langsung atau taklangsung atas pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Hegel ingin menerangkan alam semesta dan gerak-geriknya berdasarkan suatu prinsip. Menurut Hegel semua yang ada dan semua kejadian merupakan pelaksanaan-yang-sedang-berjalan dari Yang Mutlak dan bersifat rohani. Namun celakanya, Yang Mutlak itu tidak mutlak jika masih harus dilaksanakan, sebab jika betul-betul mutlak, tentunya maha sempurna, dan jika maha sempurna tidak menjadi. Oleh sebab itu pemikiran Hegel langsung ditentang oleh aliran pemikiran materialisme yang mengajarkan bahwa yang sedang-menjadi itu, yang sering sedang-menjadi-lebih-sempurna bukanlah ide ("Yang Mutlak"), namun adalah materi belaka. Maksudnya, yang sesungguhnya ada adalah materi (alam benda); materi adalah titik pangkal segala sesuatu dan segala sesuatu yang mengatasi alam benda harus dikesampingkan. Maka seluruh realitas hanya dapat dibuat jelas dalam alur pemikiran ini. Itulah faham yang dicetuskan oleh Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872). Sayangnya, materi itu sendiri tidak bisa menjadi mutlak, karena pastilah ada yang-ada-di-luar-materi yang "mengendalikan" proses dalam materi itu untuk materi bisa menjadi-lebih-sempurna-dari-sebelumnya.
Kesalahan Hegel adalah tidak menerima bahwa Yang Mutlak itu berdiri sendiri dan ada-diatas-segalanya, dalam arti tidak dalam satu realitas dengan segala yang sedang-menjadi tersebut. Dengan mengatakan Yang Mutak itu menjadi, Hegel pada dasarnya meniadakan kemutlakan. Dalam cara sama, dengan mengatakan bahwa yang mutlak itu materi, maka materialisme pun jatuh dalam kubangan yang sama. Dari sini dapat difahami munculnya sejumlah aliran-aliran penting dewasa ini:
Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis" dibutuhkan figur dewa-dewa untuk "menerangkan" kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah. Aliran positivisme dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.
Marxisme (diberi nama mengikuti tokoh utama Karl Marx, 1818-1883) mengajarkan bahwa kenyataan hanya terdiri atas materi belaka, yang berkembang dalam proses dialektis (dalam ritme tesis-antitesis-sintesis). Marx adalah pengikut setia Feuerbach (sekurangnya pada tahap awal). Feuerbach berpendapat Tuhan hanyalah proyeksi mausia tentang dirinya sendiri dan agama hanyalah sarana manusia memproyeksikan cita-cita (belum terwujud!) manusia tentang dirinya sendiri. Menurut Feuerbach, yang ada bukan Tuhan yang mahaadil, namun yang ada hanyalah manusia yang ingin menjadi adil. Dari sini dapat difahami mengapa Marx berkata, bahwa "agama adalah candu bagi rakyat", karena agama hanya membawa manusia masuk dalam "surga fantasi", suatu pelarian dari kenyataan hidup yang umumnya pahit. Selanjutnya Marx menegaskan bahwa filsafat hanya memberi interpretasi atas perkembangan masyarakat dan sejarah. Yang justru dibutuhkan adalah aksi untuk mengarahkan perubahan dan untuk itu harus dikembangkan hukum-hukum obyektif mengenai perkembangan masyarakat.
[Catatan. Soekarno mengklim telah mencetuskan marhaenisme sebagai marxisme diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia. Kualifikasi "penerapan dalam situasi dan kondisi Indonesia" (apapun itu) pastilah tidak membuat faham marhaenisme sebagai suatu aliran filsafat dan pastilah tidak harus sama dengan faham marxisme sebagai diterapkan di dalam lingkungan masyarakat lain.]
Ditangan Friedrich Engels (1820-1895), dan lebih-lebih oleh Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung, aliran filsafat Marxisme ini menjadi gerakan komunisme, yaitu suatu ideologi politik praktis Partai Komunis di negara mana saja untuk merubah dunia. Sangat nyata bahwa dimana saja Partai Komunis itu menjalankan praktek-praktek yang nyatanya mengingkari hak-hak azasi manusia, dan karena itu tidak berperikemanusiaan (dan tak ber keTuhanan pula!).
Eksistensialime merupakan himpunan aneka pemikiran yang memiliki inti sama, yaitu keyakinan, bahwa filsafat harus berpangkal pada adanya (eksistensi) manusia konkrit, dan bukan pada hakekat (esensi) manusia-pada-umumnya. Manusia-pada-umumnya tidak ada, yang ada hanya manusia ini, manusia itu. Esensi manusia ditentukan oleh eksistensinya. Tokoh aliran ini J P Sartre (1905-1980), Kierkegaard (1813-1855), Friederich Nietzche (1844-1900), Karl Jaspers (1883-1969), Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1973).
Fenomenologi merupakan aliran (tokoh penting: Edmund Husserl, 1859-1938) yang ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori umum. "Zuruck zu den sachen selbst", kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita "mengambil jarak" dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu "berbicara" sendiri mengenai hakekatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemologi, psikologi, antropologi, dan studi-studi keagamaan (misalnya kajian atas kitab suci).
Pragmatisme tidak menanyakan "apakah itu?", melainkan "apakah gunanya itu?" atau "untuk apakah itu?". Yang dipersoalkan bukan "benar atau salah", karena ide menjadi benar oleh tindakan tertentu. Tokoh aliran ini: John Dewey (1859-1914).
Neo-kantisme dan neo-thomisme merupakan aliran-aliran yang merupakan kelahiran kembali dari aliran yang lama, oleh dialog dengan aliran lain.
Disamping itu masih ada aliran filsafat analitik yang menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan analisis atas konsep-konsep. Dalam berfilsafat, jangan katakan jika hal itu tidak dapat dikatakan. "Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku". Soal-soal falsafi seyogyanya dipecahkan melalui analisis atas bahasa, untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan makna dibalik bahasa yang digunakan. Hanya dalam ilmu pengetahuan alam pernyataan memiliki makna, karena pernyataan itu bersifat faktual. Tokoh pencetus: Ludwig Wittgenstein (1889-1952).
Akhirnya sejak 1960 berkembang strukturalisme yang menyelidiki pola-pola dasar yang tetap yang terdapat dalam bahasa-bahasa, agama-agama, sistem-sistem dan karya-karya kesusasteraan.
*****
*Dikutip dari berbagai sumber

Matematika dan Filsafat

Pada era-modern kali ini ilmu filsafat yang dijadikan sebagai ilmu pengetahuan yang dapat merubah paradigma berfikir manusia mengalami perkembangan. Hal ini dikarenakan sifat berfikir kritis yang dilakukan para filosof tak terkecuali filosof atau ilmuwan sains dan matematika yang mampu melahirkan ide-ide dan metode pembelajarannya.
Oleh karena itu filsafat umum dan filsafat matematika dalam sejarahnya adalah saling melengkapi. Filsafat matematika saling bersangkut-paut dengan fungsi dan struktur teori-teori matematika. Teori-teori tersebut terbebas dari asumsi-asumsi spekulatif atau metafisik.
Filsuf matematika yang dikenal adalah Phytagoras, Plato, Aristoteles, Leibniz dan Kant. Adapaun pemikiran atau pandangan mereka terhadap ilmu matematika yaitu :

A. Pandangan Plato
Bagi plato yang penting adalah tugas akal untuk membedakan tampilan (penampakan) dari realita (kenyataan) yang sebenar-benarnya. Menurutnya ketetapan abadi/permanent, bebas untuk dipahami adalah hanya merupakan karakteristik pernyataan-pernyataan matematika. Plato yakin bahwa terdapat objek-objek yang permanent. Bagi Plato Matematika bukanlah idealisasi aspek-aspek tertentu yang bersifat empiris akan tetapi sebagai deskripsi dari bagian realitanya.
B. Aristoteles
Aristoteles menolak pembedaan Plato antara dunia ide yang disebutnya realita kebenaran, Aristotheles menekankan menemukan "dunia ide" yang permanent dan merupakan realita daripada "abstraksi" dari apa yang tampak.
C. Leibniz
Leibniz setuju dengan Aristhoteles, bahwa setiap proposisi didalam analisis terakhir berbentuk subjek-predikat. Konsep Leibniz tentang bidang study matematika murni sangat berbeda dengan pandangan Plato dan aristotheles karena menurutnya semua boleh mengatakan bahwa proposisi-proposisi adalah perlu benar untuk semua objek, semua kejadian yang mungkin, atau dengan menggunakan phrasenya yaitu "dalam semua dunia yang mungkin".
D. Kant
Kant membagi proposisi ke dalam tiga kelas
- Proposisi Analitis
- Proposisi sintetis
- Proposisi Aritmatika dan geometri murni.
E. Phytagoras
Doktrin Phytagoras antara lain bahwa fenomena yang tampak berbeda dapat memiliki representative matematika yang identik (cahaya,magnet,listrik dapat mempunyai persamaan diferensial yang sama).

Untuk perkembangan selanjutnya filsafat matematika merambah kepada filsafat pendidikan matematika. Filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafati tentang pendidikan. Dapat mengkonsentrasikan pada proses pendidikan, dapat pula pada ilmu pendidikan. Jika mengutamakan proses pendidikan, yang dibicarakan adalah cita-cita, bentuk dan metode serta hasil proses belajar itu. Jika mengutamakan ilmu pendidikan maka yang menjadi pusat perhatian adalah konsep, ide dan metode yang digunakan dalam menelaah ilmu pendidikan. Filsafat pendidikan matematika termasuk filsafat yang membicarakan proses pendidikan matematika.
Filsafat pendidikan matematika mempersoalkan permasalahan-permasalahan sebagi berikut :
- Sifat-sifat dasar matematika
- Sejarah matematika
- Psikologi belajar matematika
- Teori mengajar matematika
- Psikologis anak dalam kaitannya dengan pertumbuhan konsep matematis.
- Pengembangan kurikulum matematika sekolah
- Penerapan kurikulum matematika di sekolah.

Filsafat konstrukvimisme banyak mempengaruhi pendidikan matematika pada tahun delapan puluh dan sembilan puluhan. Konstrukvimisme berpandangan bahwa belajar adalah membentuk pengertian oleh si pelajar. Pada intinya gagasan kontruktivimisme tentang pengetahuan adalah sebagai berikut :
- Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
- Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan strutur yang perlu untuk pengetahuan.
- Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Strutur-konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi ini berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang atau disebut konsep itu jalan.

Menurut Glaserfeld proses kontruktivimisme harus memiliki kemampuan-kemampuan sebagai berikut :
- Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembalipengalaman
- Kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan.
- Kemampuan untuk lebih menyenangi pengalaman yang satu dari pengalaman yang lain.
Adapun implikasi dari kontrukvimisme terhadap proses belajar adalah sangat baik hal ini lebih ditekankan pada siswa.adapun cirri-cirinya adalah sebagai berikut :
- Belajar berarti membentuk makna
- Konstruksi makna adalah proses yang terus menerus.
- Belajar bukan merupakan hasil perkembangan, melainkan perkembangan itu sendiri.
- Proses belajar yang sesungguhnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pikiran lebih lanjut.
- Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan sekitarnya
- Hasil belajar seseorang dipengaruhi oleh apa yang telah diketahui siswa: konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.

Jadi siswa harus aktif. Guru berrtindak sebagai mediator dan fasilitator. Hal ini dikarenakan mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisifasi dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Dari pengaruh filsafat kontruktivimisme tersebut ternyata membawa perkembangan matematika lebih baik, perkembangan ini dilihat dari produktivitasnya baik kuantitatif maupun kulaitatif dari waktu ke waktu semakin meningkat dan semakin cepat. Produktivitas matematika terhadap skala waktu, secara kuantitaif dapat digambarkan berkembang secara eksponensial pertumbuhan biologis (makin lama makin menanjak).

Ditinjau dari perkembangannya kemajuan matematika terbagi menjadi dua periode atau waktu,
Yang pertama membagi skala waktu kedalam tiga periode:
- Dahulu (1673)
- Pertengahan (1638-1800)
- Sekarang (1821 - Sekarang)
Yang kedua membagi skala waktu dibagi menjadi 7 periode:
- Babilonia dan Mesir kuno.
- Yunani (600 - 300 SM)
- Masyarakat timur tengah (sebagian sebelum dan sebagian lagi sesudah periode2)
- Eropa pada masa Renaisance (1500 - 1600)
- Abad 17
- Abad 18 dan 19
- Abad 20

Melihat dari perkembangannya sebagian besar filsafat matematika berdasarkan atas perkembangan kebudayaan bangsa Eropa. Hal ini dikarenakan ahli filsafati filsafat matematika adalah orang Eropa, akan tetapi kita jangan terpaku dan menerima begitu saja pemikiran dan pandangan para ahli filsafati tersebut, karena pemikran dan ide tidak akan habis bila kita terus berpikir, seperti halnya Francis Bacon mempertanyakan, mendebat, dan mengkritik metode berpikir induktif, yang merupakan dasar metode ilmiah sebagai tulang punggung kemajuan sains yang berpijak kepada fakta empiris.
*****
*Dikutip dari berbagai sumber

Kamis, 12 Maret 2009

REFLEKSI TERHADAP FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

Ditinjau dari asal katanya. “Matematika” berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “Mathema” yang berarti “Sains, Ilmu Pengetahuan atau belajar”. Dalam kegiatan sehari-hari terutama dalam bidang akademis, Matematika sering di-identik-kan dengan sesuatu yang “sulit, membosankan, dan bahkan momok” bagi sebagian besar orang (peserta didik). Namun, jika memang benar matematika adalah sesuatu yang sulit dan membosankan, mengapa matematika diberikan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di setiap jenjang pendidikan (mulai TK sampai tingkat Sekolah Menengah Atas)?, Apakah arti dan makna matematika yang sebenarnya?
Dapat dikatakan bahwa matematika diartikan sebagai “bahasa”. Dalam artinya sebagai bahasa, matematika memungkinkan ilmu berkembang dari kualitatif ke kuantitatif. Disisi lain, dalam mempelajari berbagai disiplin ilmu matematika sering digunakan, baik dalam bentuk perhitungan, penalaran, penggunaan simbol dan pengambilan keputusan. Hal ini mengindikasikan bahwa matematika memiliki arti sebagai “pelayan ilmu”. Tetapi perlu juga diperhatikan bahwa perkembangan matematika tidak tergantung pada bidang ilmu lain, sehingga selain sebagai pelayan ilmu, matematika juga berarti sebagai “ratu” (Queen of Science). Penggunaan perhitungan sebenarnya tidak akan pernah lepas dari aktivitas manusia setiap harinya dan karenanya matematika dapat diartikan sebagai “aktivitas hidup” dan ketika melakukan aktivitas tersebut, sering kali dihadapkan pada suatu pilihan yang memerlukan spekulasi untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik. Dalam menentukan suatu pilihan, hal pertama yang dilakukan adalah melihat berbagai kemungkinan dan mengkajinya dari berbagai ketentuan yang berlaku (norma, agama, dan hukum) sehingga diperoleh suatu keputusan yang terbaik. Barangkali tidak disadari, dengan belajar matematika, pengambilan keputusan akan lebih maskimal karena kebiasaan berpikir secara deduktif (yaitu proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada premis-premis yang kebenaranya telah ditentukan).
Selain kegunaan di atas, perkembangan teknologi juga memberikan manfaat dalam pembelajaran matematika. Terkait dengan hal ini, dua peran penting teknologi dalam pembelajarn matematika sebagai berikut “Technology plays two major roles in the teaching of mathematics;
1) technology provides us with computer algebra systems (and hand held calculators) that allow us to explore mathematics interactively and
2) technology provides a means of communication between people”.
Dalam kaitannya dengan filsafat, filsafat matematika merupakan hasil pemikiran filsafat yang sasarannya ialah matematika itu sendiri. Menurut The Liang Gie (1985) bahwa filsafat matematika adalah cabang filsafat yang merupakan studi sistematis mengenai sifat alami dari matematika, khususnya dari metode-metodenya, konsep-konsep dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari bidang-bidang intelektual atau analisa yang netral secara etis dan filsafati, pemaparan, dan penjelasan mengenai landasan matematika. Dewasa ini kajian filsafat matematika sangat luas sehingga perlu ditertibkan dengan maksud terciptanya skema yang lebih sistematis dan memungkinkan pembahasan selanjutnya yang lebih luas. Oleh karena itu, The Liang Gie (1985) memberikan perincian bidang filsafat matematika menjadi 7 bagian, yaitu:
1. Epistemologi matematika.
2. Ontologi matematika.
3. Metodologi matematika.
4. Struktur logis dari matematika.
5. Implikasi etis dari matematika.
6. Aspek estetis dari matematika.
7. Peranan matematik dalam sejarah peradaban manusia.
Epistemologi atau teori pengetahuan membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan (Suriasumantri, 2006). The Liang Gie (1985) mengatakan bahwa epistemologi matematika adalah teori pengetahuan yang sasaran penelaahannya ialah pengetahuan matematika. Epistemologi sebagai salah satu bagian dari filsafat merupakan pemikiran reflektif terhadap segi dari pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula, sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan reliabilitas sampai kebenaran pengetahuan. Sekelompok pertanyaan mengenai apakah matematika itu (pertanyaan yang diperbincangkan oleh para filsuf dan ahli matematik selama lebih daripada 2000 tahun), termasuk jenis pengetahuan apa (pengetahuan empirik ataukah pengetahuan pra-pengalaman), bagaimana ciri-cirinya (deduktif, abstrak, hipotesis, eksak, simbolik, universal, rasional, dan kemungkinan ciri lainnya), serta lingkupan dan pembagian pengetahuan matematika (matematika murni dan matematik terapan serta berbagai cabang matematika yang lain), kesemua ini merupakan bahan-bahan pembahasan yang termasuk dalam epistemologi matematik. Demikian pula persoalan tentang kebenaran matematika seperti misalnya sifat alaminya dan macamnya.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau dalam rumusan Lorens Bagus: menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuk ( Muhadjir, 2001). Dalam ontologi matematika dipersoalkan cakupan dari pernyataan matematika (cakupannya suatu dunia yang nyata atau bukan). Pandangan realisme empirik menjawab bahwa cakupan merupakan suatu realitas. Eksistensi dari entitas-entitas matematika juga menjadi bahan pemikiran filsafat. Suatu hal lagi yang merupakan problem yang bertalian ialah apakah matematika ditemukan oleh manusia atau diciptakan oleh budinya. Pendapat yang menganggap matematika sebagai suatu penemuan mengandung arti bahwa aksioma-aksioma matematika merupakan kebenaran mesti yang sudah ada lebih dulu di luar pengaruh manusia.
Metodologi matematika adalah penelaahan terhadap metode yang khusus dipergunakan dalam matematika. Metode yang khusus dari matematika kini lazim dikenal sebagai axiomatic method (metode aksiomatik) atau hypothetical-deductive method (metode hipotetik-deduktif). Thomas Greenwood dalam The Liang Gie (1985) mengatakan metode aksiomatik atau hipotetik-deduktif sebagai¬mana dipakai dalam ilmu-ilmu teoritis dan khususnya matematika. Ini menyangkut problem-problem seperti pemilihan, kebebasan dan penyederhanaan dari istilah-istilah pangkal dan aksioma-aksioma, formalisasi dari batasan-batasan dan pembuktianpembuktian, keruntutan dan kelengkapan dari teori yang disusun, serta penafsiran yang terakhir.
Struktur logika dari matematika merupakan bagian dari filsafat matematika yang membahas sasarannya sebagai sebuah struktur yang sepenuhnya bercorak logis. Struktur yang demikian itu tunduk pada kaidah-kaidah logika, mensyaratkan standar tinggi dalam ketelitian logis, dan mencapai kesimpulan-kesimpulan logis tanpa menghiraukan keadaan senyatanya dari dunia empirik. Jadi sifat alami dari matematika ialah logis dan bahkan penulisan dalam bidang pengetahuan matematika perlu pula dengan gaya yang logis.
Perkembangan matematika yang amat luas dan kemajuannya yang luar biasa pesat dalam abad ini mau tidak mau mempunyai implikasi-implikasi tertentu bagi perilaku manusia terutama yang bersifat etis dalam masyarakat. Sebagai contoh misalnya perkembangan aritmetik perduaan (binary arithmetic) yang berpadu dengan teknologi elektronik telah melahirkan macam-macam komputer untuk anekaragam tugas dari menyimpan data-data perseorangan, melakukan pembukuan uang, mengatur persediaan barang, menyiapkan surat-menyurat sampai menjual karcis tontotan. Dengan ini keramahtamahan pribadi, kehangatan perjumpaan individu, dan kewarnawarnian hubungan antar-manusia menjadi berkurang. Dalam organisasi-organisasi yang besar sering kepribadian dan kedinamisan seseorang hanya menjadi sehelai kartu berlubang-lubang yang merupakan input atau output dari suatu komputer. Implikasi-implikasi etis dapat menjadi pokok soal menarik dalam pemikiran filsafat tentang matematika. John Macmurray dalam The Liang Gie (1985) menyatakan bahwa filsuf perlu berusaha menjawab pertanyaan penghabisan dari filsafat ilmu, yaitu kini dengan telah kita capai ilmu, apakah sesungguhnya artinya ilmu ?. Pertanyaan ini kiranya berlaku pula bagi matematika.
Beberapa kepustakaan matematika mengatakan bahwa matematika dipandang sebagai suatu seni. Karena merupakan suatu karya seni, matematika mengandung keindahan. Ahli matematika Morris Kline dalam The Liang Gie (1985) menyatakan bahwa matematika yang baik harus memenuhi salah satu dari tiga ukuran, yaitu kegunaan langsung dalam ilmu, kegunaan potensial, atau keindahan. Keindahan itu dapat tercapai karena adanya ide yang orisinal, kesederhanaan dalil, kecemerlangan jalan pikiran atau sesuatu ciri lainnya dalam matematika. Ciri seni dan sifat indah merupakan aspek estetis dari matematika yang juga ditelaah oleh filsafat matematika.
Sebagai penggerak dan pengguncang dunia manusia akan terus berkegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan, dalam matematika, dan bahkan akan terus menaklukkan waktu, ruang, matahari, dan bintang-bintang (Naga, 1980). Peranan matematika dalam peradaban manusia dari zaman kuno sampai sekarang sangat penting dan merupakan suatu bagian dari filsafat matematika yang cukup mempesonakan untuk diperbincangkan.
*****
Referensi:
http://BaliMath’Student(Philosophy)/Filsafat/releksi-terhadap-filsafat-pendidikan.html
The Liang Gie. 1985. Filsafat Matematika, Cet. III, Yogyakarta:Supersukses